Kaki kembali melangkah beriring bemo lusuh dan usang menuju kota tua. Matahari masih mengintip dibalik atap gedung dan langit masih memerah. Berlabuh pada warung reot seberang sungai seraya berkata "buk, nasi lima". Mulut beradu nasib dengan makanan yang tersedia sampai perut merasa jengah,haha. Setelah itu masuklah lima pemuda pada zona dimana jaman seolah berubah dengan sendirinya. Bangunan-bangunan tua masih berdiri tegak dengan congkak, tak peduli era besi dan baja. Tembok-tembok lusuh,tak mau disentuh warna. Tempat dimana film Soe Hok Gie dibuat, inilah kota tua. Area dimana gedung,tembok,jendela adalah saksi sejarah pada jamannya. Bercerita dengan medianya,apa adanya.
Lima pemuda larut dengan mulut mengangah. Datanglah pria tua berkaca mata, berambut putih juga berkopyah. Berbicara entah apa, aku hanya senyum menyapa. Foto bersama yang tersisah. Pergilah mereka menyusuri jalanan kota tua. Sampai pada sebuah gereja tua, berjaya pada era 1753: Gereja Blenduk. Masih gagah diantara gedung-gedung tua. Pemuda itu hanya berabadi didepannya juga pada Jiwa Sraya. Setelah itu meraka angkat kaki secepatnya.
"Pak, arah ambarawa naik apa ?", mereka bertanya pada wajah-wajah penghuni kota. Berwisatalah mereka ke Museum Kereta Api Ambarawa. Kereta yang dikenal se-Nusantara Indonesia. Lantaran dompet-dompet mereka tak bernyawa untuk sampai pada Museum Kereta Api Ambarawa, terdampar juga pada Museum Palagan Ambarawa, Ter-ter!!. "Mampus kau dimakan barang tua tak bernyawa!", bis kota mencelah,seolah. Tanpa muram durja mereka nikmati juga. Berapi-api seperti kolonel Soedirman berserta pasukannya menghancurkan Sekutu dari magelang.
Bersambung bagian 2 -->
0 komentar:
Posting Komentar